Kebenaran Sidik Jari Dalam Alqur'an

Sidik jari biasanya berbentuk garis-garis horizontal dan vertikal atau adonan keduanya dan juga ada bentuk lengkungan-lengkungannya. Seluruh insan di dunia diciptakan dengan sidik jari yang berbeda, satu sama lainnya. Tak ada sidik jari yang identik di dunia ini, sekalipun di antara dua saudara kembar. Dalam dunia sains pernah dikemukakan, bila ada 5 juta orang di bumi, kemungkinan munculnya dua sidik jari insan yang sama gres akan terjadi lagi 300 tahun kemudian.
Proses identifikasi insan masih sulit dilakukan sebelum ditemukannya tanda pengenal pada sidik jari. Sejak itu, muncul ilmu Daktiloskopi, yang khusus mempelajari sidik jari. Namun, sejatinya, semenjak usang Islam melalui al-Qur’an telah menjelaskan dan merumuskan teori tersebut (biometrik).

Pengakuan adanya keunikan sidik jari mulai diperkenalkan oleh andal anatomi Jerman berjulukan Johann Christoph Andreas Mayer (1747-1801) pada tahun 1788. Menurutnya, setiap sidik jari insan itu mempunyai keunikan sendiri-sendiri. Hal serupa juga dikemukakan oleh Sir William James Herschel (1833-1918) pada tahun 1858. Namun, pada ketika itu, sidik jari belum digunakan sebagai teori ilmiah (saintis) untuk dijadikan sebagai tanda pengenal seseorang.

Sidik jari mulai diteliti secara ilmiah dan kesannya dijadikan sebagai tanda pembeda identitas yaitu ketika Sir Francis Golt secara khusus melaksanakan riset ihwal ini pada tahun 1880. Setelah melaksanakan risetnya, ia menyampaikan bahwa tidak ada dua orang insan di dunia ini yang mempunyai bentuk sidik jari yang benar-benar sama.

Pada perkembangannya, muncullah banyak sekali alat teknologi sidik jari dengan sistem analisa elektronik. Alat ini pertama kali digunakan Federal Bureau Investigation (atau terkenal dengan sebutan FBI) di Amerika Serikat sekitar selesai era ke-19 atau tahun 60-an. FBI menggunakannya untuk mengetahui jati diri korban atau bahkan tersangkanya lewat jejak sidik jari yang biasanya tertinggal dalam kawasan kejadian.

Setelah itu, sidik jari tidak saja digunakan sebagai alat untuk mengungkap kriminalitas, tapi juga mulai memasuki ranah yang lain, menyerupai untuk mesin absensi, teknologi saluran kontrol pintu, finger print data secure, aplikasi retail, sistem payment dan masih banyak lagi.

Seiring dengan itu, muncullah disiplin ilmu yang mempelajari sidik jari, yaitu Daktiloskopi. Yakni ilmu yang mempelajari sidik jari untuk keperluan pengenalan kembali identitas orang dengan cara mengamati garis yang terdapat pada guratan garis jari tangan dan telapak kaki. Daktiloskopi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dactylos yang berarti jari jemari atau garis jari, dan scopein yang artinya mengamati atau meneliti. Kemudian dari pengertian itu timbul istilah dalam bahasa Inggris, dactyloscopy yang kita kenal menjadi ilmu sidik jari.

Pertanyaannya: mengapa sidik jari mempunyai tugas yang demikian signifikan untuk “pembeda identitas”? Karena sidik jari mempunyai beberapa sifat dan karakteristik. Pertama, parennial nature,  yaitu adanya guratan-guratan pada sidik jari yang menempel pada insan yang bersifat seumur hidup. Karena itu, contoh sidik jari relatif gampang diklasifikasikan. Dalam sidik jari, ada pola-pola yang sanggup diklasifikasikan sehingga untuk banyak sekali keperluan, contohnya pengukuran, gampang dilakukan.

Kedua, immutability, yang berarti bahwa sidik jari seseorang tak akan pernah berubah. Sidik jari bersifat permanen, tidak pernah berubah sepanjang hayat. Sejak lahir, dewasa, hingga selesai hayat, contoh sidik jari seseorang bersifat tetap kecuali sebuah kondisi yaitu terjadi kecelakaan yang serius sehingga mengubah contoh sidik jari yang ada.  Hal ini berbeda dengan anggota badan lain yang senantiasa berubah, menyerupai bentuk wajah yang berubah seiring usia.

Ketiga, individuality, yang berarti keunikan sidik jari merupakan originalitas pemiliknya yang tak mungkin sama dengan siapapun di muka bumi ini sekali pun pada seorang yang kembar identik. Dengan kata lain, sidik jari bersifat spesifik untuk setiap orang. Kemungkinan contoh sidik jari sama yaitu 1:64.000.000.000, jadi tentunya hampir tidak mungkin ditemukan contoh sidik jari sama antara dua orang. Pola sidik jari di setiap tangan seseorang juga akan berbeda-beda. Pola sidik jari di ibu jari akan berbeda dengan contoh sidik jari di telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking.

Dengan tiga sifat dan huruf di atas, maka pantas bila sidik jari dijadikan sebagai alat pembeda identitas. Dan selama ini, cara ini sangat ampuh dalam mengungkap banyak sekali kriminalitas di banyak sekali potongan dunia dan banyak sekali kebutuhan lainnya.

Namun, tahukah Anda, jauh hari sebelum teori-teori modern ihwal sidik jari itu bermunculan (biometrik), sesungguhnya al-Qur’an telah mengupasnya. Al-Qur’an telah memperhatikan sidik jari sebagai sesuatu yang sangat vital dalam anggota badan kita. Allah berfirman,  "Apakah insan mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? Ya, bahkan Kami bisa menyusun (kembali) ujung jari-jarinya dengan sempurna." (QS. Al-Qiyamah [75]:3-4)

Menurut Harun Yahya dalam Pesona Al-Qur’an ketika menjelaskan ayat di atas menulis bahwa pengutamaan pada sidik jari mempunyai makna sangat khusus. Ini dikarenakan sidik jari setiap orang yaitu khas bagi dirinya sendiri. Setiap orang yang hidup atau pernah hidup di dunia ini mempunyai serangkaian sidik jari yang unik dan berbeda dari orang lain. Itulah mengapa sidik jari digunakan sebagai kartu identitas yang sangat penting bagi pemiliknya dan digunakan untuk tujuan ini di seluruh penjuru dunia.

Harun Yahya melanjutkan, sistem pengkodean lewat sidik jari ini sanggup disamakan dengan sistem arahan garis (barcode) sebagaimana yang digunakan ketika ini. Akan tetapi, ujarnya, yang penting yaitu bahwa keunikan sidik jari ini gres ditemukan di selesai era ke-19. Sebelumnya, orang menghargai sidik jari sebagai lengkungan-lengkungan biasa tanpa makna khusus. Namun, dalam al-Qur'an, Allah merujuk kepada sidik jari, yang sedikitpun tak menarik perhatian orang waktu itu, dan mengarahkan perhatian kita pada arti penting sidik jari yang gres bisa dipahami di zaman sekarang.

Dan jauh hari sebelum Sir Francis Golt mengemukakan secara ilmiah ihwal sidik jari, dokter Persia yang berjulukan Rashid al-Din Hamadani (1247-1318) bahwasanya pernah menulis dalam Tawarikh, kalau pengalaman menunjukkan bahwa tidak ada dua individu yang mempunyai jari persis sama.

Namun, para penentang kebenaran al-Qur’an selalu saja mencari celah. Dikatakan, bahwa konsep sidik jari bahwasanya sudah diperkenalkan semenjak dulu sebelum Islam lahir. Di China, pada era ketiga SM, sidik jari sudah dijadikan sebagai bukti otentikasi pinjaman. Konon, pedagang Muslim Arab berjulukan Abu Zaid Hasan, ketika berkunjung ke China sebelum 851 CE, menyaksikan pedagang China memakai sidik jari untuk otentikasi pinjaman. Pada 650 CE, sejarawan China yang berjulukan Kia Kung-Yen menyampaikan bahwa sidik jari sanggup digunakan sebagai alat otentikasi.

Terlepas dari adanya data terakhir ini, yang jelas, bagi kita sebagai umat Islam sangat gembira dengan adanya kitab suci berjulukan al-Qur’an. Sejak 14 era yang lalu, al-Qur’an selalu otentik dipergunakan. Informasi-informasi ilmiah yang diberikannya selalu teruji hingga kapanpun, yang ketika itu belum disadari sama sekali oleh orang. Dengan kata lain, al-Qur’an yaitu bukti tertulis yang paling otentik yang bisa dijadikan sebagai tumpuan ilmiah dalam mengupas persoalan-persoalan teknologi zaman sekarang. Sedangkan bukti-bukti lain terkadang aus terkikis zaman atau hilang dan terbakar.

courtesy :
Infometafisik.com 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kebenaran Sidik Jari Dalam Alqur'an"

Post a Comment