Seni Budaya Dan Macam-Macam Seni Budaya Di Indonesia

hai sobat BLOGGER JEMO LINTANK, masih ingat pembahasan kita barusan ihwal lambang pramuka beserta artinya ? kali ini admin posting ihwal seni budaya dan macam-macam seni budaya di indonesia

ingin tau ihwal seni budaya dan macam-macam seni budaya di indonesia ? yuk pribadi simak :

seni budaya di indonesia berkaitan erat dengan cara insan menjalani kehidupannya. cara bersosialisasi dengan masyarakat sekitr, cara memenuhi hidupnya hingga masyarakay mengekspresikan perasaan dalam dirinya.

jadi seni budaya tidak hanya berkaitan dengana seni belaka, seni budaya di indonesia di antaranya sebagai berikut :

a. rumah adat

indonesia memiki begitu banyak rumah susila denga ciri khas masing-masing daerah. macam-maca budaya rumah susila contohnya :

1. rumah joglo dari jawa

 masih ingat pembahasan kita barusan ihwal  seni budaya dan macam-macam seni budaya di indonesia
seni budaya dan macam-macam seni budaya di indonesia

Joglo yaitu rumah susila masyarakat Jawa. Bagian-bagian joglo yaitu :
  1. pendapa.
  2. pringgitan.
  3. dalem.
  4. sentong.
  5. gandok tengen.
  6. gandok kiwo.
Bagian pendapa yaitu penggalan paling depan Joglo yang mempunyai ruangan luas tanpa sekat-sekat, biasanya digunakan sebagai tempat pertemuan untuk program besar bagi penghuninya. Seperti program pagelaran wayang kulit, tari, gamelan dan yang lain. Pada waktu ada program syukuran biasanya sebagai tempat tamu besar. Pendopo biasanya terdapat soko guru, soko pengerek, dan tumpang sari.
Bagian Pringgitan yaitu penggalan penghubung antara pendopo dan rumah dalem. Bagian ini dengan pendopo biasanya di batasi dengan seketsel dan dengan dalem dibatasi dengan gebyok. Fungsi penggalan pringgitan biasanya sebagai ruang tamu.
Bagian Dalem yaitu penggalan tempat bersantai keluarga. Bagian ruangan yang bersifat lebih privasi.

Jenis Joglo

  1. Joglo Limasan Lawakan (atau “Joglo Lawakan”).
  2. Joglo Sinom
  3. Joglo Jompongan
  4. Joglo Pangrawit
  5. Joglo Mangkurat
  6. Joglo Hageng
  7. Joglo Semar Tinandhu
  8. Joglo Kudus
  9. Joglo Jepara
  10. Joglo Pati
Penyebaran di Pulau Jawa, lantaran kedekatan budayanya bangunan ini juga banyak ditemukan di Pulau Madura dan Pulau Bali.

2. rumah gadang dari sumatera barat

 masih ingat pembahasan kita barusan ihwal  seni budaya dan macam-macam seni budaya di indonesia
seni budaya dan macam-macam seni budaya di indonesia
Rumah Gadang atau Rumah Godang yaitu nama untuk rumah susila Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak di jumpai di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau ada juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjuang.
Rumah dengan model ini juga banyak dijumpai di Negeri Sembilan, Malaysia. Namun tidak semua daerah di Minangkabau (darek) yang boleh didirikan rumah susila ini, hanya pada daerah yang sudah mempunyai status sebagai nagari saja Rumah Gadang ini boleh didirikan. Begitu juga pada daerah yang disebut dengan rantau, rumah susila ini juga dahulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau Minangkabau.

Fungsi rumah gadang

Rumah Gadang sebagai tempat tinggal bersama, mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Jumlah kamar bergantung kepada jumlah perempuan yang tinggal di dalamnya. Setiap perempuan dalam kaum tersebut yang telah bersuami memperoleh sebuah kamar. Sementara perempuan bau tanah dan bawah umur memperoleh tempat di kamar bersahabat dapur. Gadis remaja memperoleh kamar bersama di ujung yang lain.
Seluruh penggalan dalam Rumah Gadang merupakan ruangan lepas kecuali kamar tidur. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah lanjar bergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga dan empat. Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas.
Rumah Gadang biasanya dibangun diatas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku/kaum tersebut secara turun temurun dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan pada kaum tersebut. Dihalaman depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat dua buah bangunan Rangkiang, digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjung (Bahasa Minang: anjuang) sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, lantaran itu rumah Gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Anjung pada kelarasan Bodi-Chaniago tidak menggunakan tongkat penyangga di bawahnya, sedangkan pada kelarasan Koto-Piliang menggunakan tongkat penyangga. Hal ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda, salah satu golongan menganut prinsip pemerintahan yang hirarki menggunakan anjung yang menggunakan tongkat penyangga, pada golongan lainnya anjuang seperti mengapung di udara. Tidak jauh dari komplek Rumah Gadang tersebut biasanya juga dibangun sebuah surau kaum yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan dan juga sekaligus menjadi tempat tinggal lelaki bakir balig cukup akal kaum tersebut yang belum menikah.

Arsitektur rumah gadang

Rumah susila ini mempunyai keunikan bentuk arsitektur dengan bentuk puncak atapnya runcing yang mirip tanduk kerbau dan dahulunya dibentuk dari materi ijuk yang sanggup tahan hingga puluhan tahun. namun belakangan atap rumah ini banyak berganti dengan atap seng.
Rumah Gadang ini dibentuk berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua penggalan muka dan belakang. Dari penggalan dari depan Rumah Gadang biasanya penuh dengan gesekan ornamen dan umumnya bermotif akar, bunga, daun serta bidang persegi empat dan genjang. Sedangkan penggalan luar belakang dilapisi dengan belahan bambu. Rumah tradisional ini dibina dari tiang-tiang panjang, bangunan rumah dibentuk besar ke atas, namun tidak gampang rebah oleh goncangan, dan setiap elemen dari Rumah Gadang mempunyai makna tersendiri yang dilatari oleh tambo yang ada dalam susila dan budaya masyarakat setempat.
Pada umumnya Rumah Gadang mempunyai satu tangga yang terletak pada penggalan depan. Sementara dapur dibangun terpisah pada penggalan belakang rumah yang didempet pada dinding.

Ukiran rumah gadang

Pada penggalan dinding Rumah Gadang di buat dari materi papan, sedangkan penggalan belakang dari materi bambu. Papan dinding dipasang vertikal, sementara semua papan yang menjadi dinding dan menjadi bingkai diberi ukiran, sehingga seluruh dinding menjadi penuh ukiran. Penempatan motif gesekan tergantung pada susunan dan letak papan pada dinding Rumah Gadang.
Pada dasarnya gesekan pada Rumah Gadang merupakan ragam hias pengisi bidang dalam bentuk garis melingkar atau persegi. Motifnya umumnya tumbuhan merambat, akar yang berdaun, berbunga dan berbuah. Pola akar biasanya berbentuk lingkaran, akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan dan juga sambung menyambung. Cabang atau ranting akar berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas dan ke bawah.
Disamping motif akar, motif lain yang dijumpai yaitu motif geometri bersegi tiga, empat dan genjang. Motif daun, bunga atau buah sanggup juga diukir tersendiri atau secara berjajaran.

3. rumah tongkonan dari sulawesi selatan

 masih ingat pembahasan kita barusan ihwal  seni budaya dan macam-macam seni budaya di indonesia
seni budaya dan macam-macam seni budaya di indonesia
Tongkonan yaitu rumah susila msyarakat Toraja. Atapnya melengkung mirip perahu, terdiri atas susunan bambu (saat ini sebagian tongkonan menggunakan atap seng). Di penggalan depan terdapat deretan tanduk kerbau. Bagian dalam ruangan dijadikan tempat tidur dan dapur. Tongkonan digunakan juga sebagai tempat untuk menyimpan mayat. Tongkonan berasal dari kata tongkon (artinya duduk bersama-sama). Tongkonan dibagi berdasarkan tingkatan atau tugas dalam masyarakat (stara sosial Masyarakat Toraja). Di depan tongkonan terdapat lumbung padi, yang disebut ‘alang‘. Tiang-tiang lumbung padi ini dibentuk dari batang pohon palem (banga) dikala ini sebagian sudah dicor. Di penggalan depan lumbung terdapat aneka macam ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari (disebut pa'bare' allo), yang merupakan simbol untuk menuntaskan perkara.
Khususnya di Sillanan-Pemanukan (Tallu Lembangna) yang dikenal dengan istilah Ma'duangtondok terdapat tongkonan yaitu Tongkonan Karua (delapan rumah tongkonan) dan Tongkonan A'pa'(empat rumah tongkonan) yang memegang peranan dalam masyarakat sekitar.
Tongkonan karua terdiri dari:
  1. Tongkonan Pangrapa'(Kabarasan)
  2. Tongkonan Sangtanete Jioan
  3. Tongkonan Nosu (To intoi masakka'na)
  4. Tongkonan Sissarean
  5. Tongkonan Karampa' Panglawa padang
  6. Tongkonan Tomentaun
  7. Tongkonan To'lo'le Jaoan
  8. Tongkonan To Barana'
Tongkonan A'pa' terdiri dari:
  1. Tongkonan Peanna Sangka'
  2. Tongkonan To'induk
  3. Tongkonan Karorrong
  4. Tongkonan Tondok Bangla' (Pemanukan)
Banyak rumah susila yang konon dikatakan tongkonan di Sillanan, tetapi berdasarkan masyarakat setempat, bahwa yang dikatakan tongkonan hanya 12 mirip tercatat di atas. Rumah susila yang lain disebut banua pa'rapuan. Yang dikatakan tongkonan di Sillanan yaitu rumah susila di mana turunannya memegang peranan dalam masyarakat susila setempat. Keturunan dari tongkonan menggambarkan strata sosial masyarakat di Sillanan. Contoh Tongkonan Pangrapa' (Kabarasan)/ pemegang kekuasaan pemerintahan. Bila ada orang yang meninggal dan dipotongkan 2 ekor kerbau, satu kepala kerbau dibawa ke Tongkonan Pangrapa' untuk dibagi-bagi turunannya.
Stara sosial di masayarakat Sillanan di bagi atas 3 tingkatan yaitu:
  1. Ma'dika (darah biru/keturunan bangsawan);
  2. To Makaka (orang merdeka/bebas);
  3. Kaunan (budak), budak masih dibagi lagi dalam 3 tingkatan.
Sejarah Kabarasan:
Pada awalnya Kabarasan dipegang oleh Tintribuntu yang berkedudukan di Buntu Lalanan (rumah susila Buntu sebelah barat). Kemudian Anaknya Tintribuntu yaitu Tome kawin dengan anak dari Tongkonan Sangtanete Jioan (Tongkonan Sangtanete sebelah timur). Sampai dipertahankan oleh Pong Paara' di Sangtanete Jioan. Setelah Pong Paara' meninggal (tidak ada anaknya), balasannya muncul pemberani dari Doa' (Rumah susila Doa') yaitu So'Padidi (alias Pong Arruan). Kabarasan dipindahkann ke Doa'. Kekuasaan lemah di Doa' sesudah So' Padidi meninggal, lantaran semua anaknya yaitu perempuan 3 orang, sehingga muncul tipu kebijaksanaan kancil yang menyampaikan bahwa bisa dipotongkan kerbau 3 ekor saja. Karena minimal kerbau dikorbankan yaitu 4, maka Doa' dianggap tidak bisa memegang kekuasaan. Akhirnya dibawa Boroalla ke Tonngkonan Pangrapa', hingga dikala ini.

( itulah sekilas gosip ihwal seni budaya di bidang rumah susila .. kembali ke seni budaya di indonesia lainnya yuk )

b. kesenian

budaya indonesia tak lepas dari aspek kesenian daerah kesenian itu sendiri merupakan ekspresi insan yang sanggup dinikmati oleh mata dan telinga. di indonesia ada bermacam-macam kesenian, berikut contohnya:

1. sastra ( bahasa )
bahasa yaitu alat komunikasi manusia. di indonesia, kita sanggup menemukan berbagaim macam bahasa, mirip bahasa jawa, bahasa bali,  bahasa batak,bahasa papua, dan masih banyak lagi. semua bahasa itu mempunyai pengucapan yang berbeda-beda, tetapi kita disatukan oleh bahasa nasional indonesia.
seni sastra juga mencakup kisah atau dongeng rakyat. kisah ini biasanya berkaitan erat dengan asal-usul suatu daerah atau kisah kerajaan zaman dahulu. contohnya kisah tangkuban perahu, timun mas, atau kisah malin kundang.

2. lagu
pernahkah kau dengar lagu apuse, kicir-kicir, ampar-ampar pisang, atau cing cangkeling ? semua lagu-lagu dengan bahasa daerah itu merupakan seni budaya kesenian yang menempel pada seluruh penduduk indonesia.

3. tarian
teladan budaya tari di indonesia yaitu tari saman dari aceh, tari pendet dari bali, atau tari piring dari sumatera barat.

4. alat musik
lagu dan tarian daerah tidak akan lengkap tanpa musik. di indonesia, musik daerah dimainkan oleh bermacam-macam alat musik yang mempunyai bunyi yang indah.

teladan beberapa alat musik daerah yaitu :

a. angklung yang terbuat dari bambu

 masih ingat pembahasan kita barusan ihwal  seni budaya dan macam-macam seni budaya di indonesia
seni budaya dan macam-macam seni budaya di indonesia
Angklung yaitu alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat Sunda di Pulau Jawa penggalan barat. Alat musik ini dibentuk dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan tubuh pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, hingga 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Dictionary of the Sunda Language karya Jonathan Rigg, yang diterbitkan pada tahun 1862 di Batavia, menuliskan bahwa angklung yaitu alat musik yang terbuat dari pipa-pipa bambu, yang dipotong ujung-ujungnya, mirip pipa-pipa dalam suatu organ, dan diikat bersama dalam suatu bingkai, digetarkan untuk menghasilkan bunyi. Angklung terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO semenjak November 2010.

Asal-usul


Tidak ada petunjuk semenjak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara hingga awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan penggalan dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara. Catatan mengenai angklung gres muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 hingga kala ke-16). Asal undangan terciptanya musik bambu, mirip angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai penggalan dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, yaitu salah satu yang masih hidup semenjak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi biar tumbuhan padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut yaitu bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat sunda semenjak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa hingga pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat menciptakan popularitas angklung menurun dan hanya dimainkan oleh anak- anak pada waktu itu.
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal kini berjulukan angklung. Demikian pula pada dikala pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, kemudian ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, kemudian permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.
Bahkan, semenjak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari aneka macam komunitas.

Jenis Angklung

Angklung Kanekes

Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy) digunakan terutama lantaran hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai aturan, contohnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari semenjak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada demam isu menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan program yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung sesudah dipakai.
Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan dikala terperinci bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang, Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil menciptakan posisi berdiri sambil berjalan dalam gugusan lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka dibatasi oleh susila dengan aneka macam hukum pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melaksanakan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka menggunakan bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.
Di Kanekes yang berhak menciptakan angklung yaitu orang Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal yaitu Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.

Angklung Reyog

Angklung Reyog merupakan alat musik untuk mengiringi tarian reyog ponorogo di jawa timur. angklung Reyog mempunyai khas dari segi bunyi yang sangat keras, mempunyai dua nada serta bentuk yang lengkungan rotan yang menarik (tidak mirip angklung umumnya ang berbentuk kubus) dengan hiasan benang berumbai-rumbai warna yang indah. di kisahkan angklung merupakan sebuah senjata dari kerajaan bantarangin ketika melawan kerajaan lodaya pada kala ke 9, ketika kemenangan oleh kerajaan bantarangin para prajurit besar hati tak terkecuali pemegang angklung, lantaran kekuatan yang luar biasa penguat dari tali tersebut lenggang hingga menghasilkan bunyi yang khas yaitu klong- klok dan klung-kluk bila didengar akan mencicipi getaran spiritual.
Dalam sejarahnya angklung Reyog ini digunakan pada film: Warok Singo Kobra (1982), Tendangan Dari Langit (2011)
Dan penggunaan angklung Reyog pada musik seperti: tahu opo tempe, sumpah palapa, kuto reog, Resik Endah Omber Girang, dan campursari berbau ponorogoan.

Angklung Banyuwangi

Angklung banyuwangi ini mempunyai bentuk seperi calung dengan nada budaya banyuwangi

Angklung Bali

angklung bali mempunyai bentuk dan nada yang khas bali,

Angklung Dogdog Lojor

Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan susila Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan jakarta, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung lantaran kaitannya dengan program ritual padi. Setahun sekali, sesudah panen seluruh masyarakat mengadakan program Serah Taun atau Seren Taun di sentra kampung adat. Pusat kampung susila sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan lantaran mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh susila lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan efek modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini besar lengan berkuasa pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang semenjak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan program kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor yaitu 2 buah dogdog lojor dan 4 buah angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang.
Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya Bale Agung, Samping Hideung, Oleng-oleng Papanganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.

Angklung Gubrag

Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia bau tanah dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).
Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa kampung Cipining mengalami demam isu paceklik.

Angklung Badeng

Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng telah digunakan masyarakat semenjak usang dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berafiliasi dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang semenjak Islam menyebar di daerah ini sekitar kala ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, mencar ilmu agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah berbagi agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya yaitu dengan kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2 angklung roel, 1 angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2 angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1 kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya kini digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta berdasarkan keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain menyajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, mirip mengiris tubuh dengan senjata tajam.
Lagu-lagu badeng: Lailahaileloh, Ya’ti, Kasreng, Yautike, Lilimbungan, Solaloh.

Buncis

Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang berafiliasi dengan padi. Tetapi pada masa kini buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berafiliasi dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an sanggup dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, lantaran semenjak itu buncis menjelma pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit; lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan gampang dibawa ke mana-mana. Padi pun kini banyak yang pribadi dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) tidak diharapkan lagi.
Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu cis kacang buncis nyengcle..., dst. Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis yaitu 2 angklung indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1 angklung enclok. Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit, panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya: Badud, Buncis, Renggong, Senggot, Jalantir, Jangjalik, Ela-ela, Mega Beureum. Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya pria pemain angklung, kini oleh perempuan khusus untuk menyanyi.
Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (Angklung) di atas, yaitu beberapa teladan saja ihwal seni pertunjukan angklung, yang terdiri atas: Angklung Buncis (Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), Angklung Bungko (Indramayu), Angklung Gubrag (Bogor), Angklung Ciusul (Banten), Angklung Dog dog Lojor (Sukabumi), Angklung Badeng (Malangbong, Garut), dan Angklung Padaeng yang identik dengan Angklung Nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan semenjak tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908—1984) diubah nadanya menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga sanggup memainkan aneka macam lagu lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara orkestra besar.

Angklung Padaeng

Angklung padaeng yaitu angklung yang dikenalkan oleh Daeng Soetigna semenjak sekitar tahun 1938. Terobosan pada angklung padaeng yaitu digunakannya laras nada Diatonik yang sesuai dengan sistem musik barat. Dengan demikian, angklung kini sanggup memainkan lagu-lagu internasional, dan juga sanggup bermain dalam Ensembel dengan alat musik internasional lainnya.

Angklung Sarinande

Angklung sarinande yaitu istilah untuk angklung padaeng yang hanya menggunakan nada bundar saja (tanpa nada kromatis) dengan nada dasar C. Unit kecil angklung sarinade berisi 8 angklung (nada Do Rendah hingga Do Tinggi), sementara sarinade plus berisi 13 angklung (nada Sol Rendah hingga Mi Tinggi).

Angklung Toel

Angklung toel diciptakan oleh Kang Yayan Udjo sekitar tahun 2008. Pada alat ini, ada rangka setinggi pinggang dengan beberapa angklung dijejer dengan posisi terbalik dan diberi karet. Untuk memainkannya, seorang pemain cukup men-toel angklung tersebut, dan angklung akan bergetar beberapa dikala lantaran adanya karet.

Angklung Sri-Murni

Angklung ini merupakan gagasan Eko Mursito Budi yang khusus diciptakan untuk keperluan robot angklung. Sesuai namanya, satu angklung ini menggunakan dua atau lebih tabung bunyi yang nadanya sama, sehingga akan menghasilkan nada murni (mono-tonal). Ini berbeda dengan angklung padaeng yang multi-tonal. Dengan ilham sederhana ini, robot dengan gampang memainkan kombinasi beberapa angklung secara simultan untuk menirukan imbas angklung melodi maupun angklung akompanimen.

Ensemble angklung

Agar lebih kaya suaranya, angklung sebaiknya dimainkan dengan alat musik lain membentuk ensembel. Beberapa ensembel angklung yang sudah mapan adalah:

Klasik Padaeng

Ensemble angklung klasik yang dikenalkan oleh Pak Daeng Soetigna terdiri atas:
  • Angklung melodi
  • Angklung akompanimen
  • Bas betot
Kombinasi minimal inilah yang paling terkenal dan umum dijumpai dikala konser maupun lomba paduan angklung.

Angklung solo

Angklung solo yaitu konfigurasi dimana satu unit angklung melodi digantung pada suatu palang sehingga bisa dimainkan satu orang saja. Sesuai dengan konvensi nada diatonis, maka ada dua jajaran gantungan angklung, yang bawah berisi nada penuh, sedangkan yang atas berisi nada kromatis. Angklung Solo ini digagas oleh Yoes Roesadi tahun 1964, dan dimainkan bersama alat musik basanova dalam group yang menamakan diri Aruba (Alunan Rumpun Bambu). Sekitar tahun 1969, nama Aruba ini diubahsuaikan menjadi Arumba

Arumba

Arumba yaitu istilah bagi seperangkat alat musik (ensemble) yang minimal terdiri atas:
  • Satu unit angklung melodi, digantung sehingga bisa dimainkan oleh satu orang
  • Satu unit bass lodong, juga dijejer biar bisa dimainkan satu orang
  • Gambang bambu melodi
  • Gambang bambu akompanimen
  • Gendang
Konfigurasi awal ensemble tersebut diperkenalkan oleh Mochamad Burhan sekitar tahun 1966, yang menggunakannya bersama grup "Arumba Cirebon"

Teknik permainan angklung

Memainkan sebuah angklung sangat mudah. Seseorang tinggal memegang rangkanya pada salah satu tangan (biasanya tangan kiri) sehingga angklung tergantung bebas, sementara tangan lainnya (biasanya tangan kanan) menggoyangnya hingga berbunyi. Dalam hal ini, ada tiga teknik dasar menggoyang angklung:
  • Kurulung (getar), merupakan teknik paling umum dipakai, dimana ajudan memegang tabung dasar dan menggetarkan ke kiri-kanan berkali-kali selama nada ingin dimainkan.
  • Centok (sentak), yaitu teknik dimana tabung dasar ditarik dengan cepat oleh jari ke telapak tangan kanan, sehingga angklung akan berbunyi sekali saja (stacato).
  • Tengkep, mirip mirip kurulung namun salah satu tabung ditahan tidak ikut bergetar. Pada angklung melodi, teknik ini mengakibatkan angklung mengeluarka nada murni (satu nada melodi saja, tidak dua mirip biasanya). Sementara itu pada angklung akompanimen mayor, teknik ini digunakan untuk memainkan akord mayor (3 nada), alasannya yaitu bila tidak ditengkep yang termainkan yaitu akord lebih banyak didominasi septim (4 nada).
Sementara itu untuk memainkan satu unit angklung guna membawakan suatu lagu, akan diharapkan banyak pemusik yang dipimpin oleh seorang konduktor. Pada setiap pemusik akan dibagikan satu hingga empat angklung dengan nada berbeda-beda. Kemudian sang konduktor akan menyiapkan partitur lagu, dengan goresan pena untaian nada-nada yang harus dimainkan. Konduktor akan memberi aba-aba, dan masing-masing pemusik harus memainkan angklungnya dengan sempurna sesuai nada dan usang ketukan yang diminta konduktor. Dalam memainkan lagu ini para pemain juga harus memperhatikan teknik sinambung, yaitu nada yang sedang berbunyi hanya boleh tidak boleh segera sesudah nada berikutnya mulai berbunyi.

Berlatih Angklung

Angklung akan terdengar merdu dan megah bila dimainkan beramai-ramai dengan kompak. Untuk itu, diharapkan persiapan dan latihan yang cukup panjang, dipimpin instruktur yang cukup punya pemahaman musik umum maupun angklung. Tahap-tahap persiapannya adalah:
  1. Pilih lagu dengan aransemennya. Lagu yang cocok dimainkan dengan angklung umumnya yang berirama riang, dan bila bisa ada penggalan yang rancak, sehingga bisa diimprovisasi dengan teknik centok. Lagu ini kemudian perlu diaransemen khusus untuk angklung, dengan mempunyai beberapa suara. Untuk latihan, aransemen ini kemudian ditulis di kertas yang besar (biasanya dalam notasi not angka).
  2. Siapkan unit angklung sesuai aransemen. Dari aransemen angklung, bisa diketahui berapa angklung yang diharapkan berdasar rentang nada lagu dan keseimbangan intonasinya.
  3. Kumpulkan pemain dan distribusikan angklung kepada mereka. Jika ada pemain yang memegang banyak angklung, harus diperhatikan biar si pemain tersebut tidak akan pernah memainkan dua angklung pada dikala bersamaan. Untuk itu biasanya digunakan tabel tonjur.
  4. Pemanasan. Sebelum berlatih, sebaiknya lemaskan dulu kaki dan tangan, kemudian lakukan gerakan-gerakan dasar untuk kurulung maupun centok bersama-sama.
  5. Mempelajari lagu. Bersama-sama, pelajari dan telusuri alur lagu, mana bait-bait dan chorus yang harus diulang. Perlahan-lahan mainkan lagu ini dibawah pimpinan konduktor. Disarankan biar selama latihan awal semua nada di-centok saja, jangan dikurulung dulu.
  6. Menghafal not. Perlahan-lahan para pemain diminta menghafal not-not lagu dan penggalan permainannya.
  7. Meningkatkan teknik. Ini tahap polesan akhir, dimana konduktor bisa mulai memimpin dengan menekankan keserempakan permainan, dinamika, maupun penjiwaan.
  8. Koreografi. Jika akan tampil dipentas, bisa mulai dipikirkan improvisasi biar para pemain melaksanakan gerakan yang menarik, tidak berdiri kaku terus menerus.

Angklung interaktif

Angklung interaktif yaitu kegiatan dimana seorang konduktor mengajak banyak orang, yang umumnya awam, untuk bermain angklung beramai-ramai .Kegiatan ini bisa dilakukan di tempat pariwisata atau program ramah tamah. Pada para penerima akan dibagikan angklung-angklung yang sudah diberi nomor sesuai nadanya. Lalu, sang konduktor akan memimpin, biasanya dengan cara:
  1. Konduktor membuka satu layar besar bertuliskan lagu dalam not angka, kemudian mengajak para penerima memainkan angklung yang sempurna dengan menunjuk nada pada layar.
  2. Konduktor mengajarkan isyarat tangan untuk nada-nada tertentu pada penonton, kemudian memimpin suatu lagu dengan memperlihatkan isyarat yang sempurna secara berurutan untuk diikuti para peserta. Isyarat tangan ini di-adaptasi oleh Mang Udjo, berdasar isyarat yang dikembangkan oleh John Curwen.
  3. Sebelumnya, Pak Daeng Soetigna menggunakan isyarat gambar hewan untuk melatih bawah umur TK
 masih ingat pembahasan kita barusan ihwal  seni budaya dan macam-macam seni budaya di indonesiaKLIK DISINI 


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Seni Budaya Dan Macam-Macam Seni Budaya Di Indonesia"

Post a Comment